selaksa makna

seperti kata-kata, hidup memiliki ribuan makna di baliknya..

Menggagas (dana) CSR Sebagai Komponen PAD

Menggagas (dana) Corporate Social Responsibility

Sebagai Komponen Pendapatan Asli Daerah

Corporate Social Responsibility

Corporate social responsibility atau biasa disingkat dengan CSR adalah konsep keterlibatan perusahaan dalam menjaga dan/atau meningkatkan kualitas masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Pengertian lebih sederhana, namun cakupannya justru lebih luas dan dalam, dikemukakan oleh Carrol seperti dikutip Sybille Sachs, dkk. Carrol mengatakan bahwa CSR adalah suatu tindakan yang dilakukan perusahaan, baik dalam hal etika, hukum, komersial, maupun public interest, untuk memenuhi bahkan melampaui harapan stakeholder terhadap perusahaan bersangkutan.[1]

Tetapi perlu diperhatikan lebih seksama adanya kecenderungan menyamakan CSR sebagai “kompensasi” yang diberikan perusahaan karena mereka sudah mendapat untung dari masyarakat atau lingkungan. Contohnya sebagai berikut; kegiatan sebuah perusahaan tambang emas ternyata mencemari sungai di sekitarnya. Dengan dalih pertanggung-jawaban, perusahaan tersebut melakukan pembersihan sungai dengan menetralisasi kandungan logam berat yang mengalir ke sungai sebagai akibat kegiatannya. Tindakan menetralisir limbah sungai yang dilakukan perusahaan bukanlah tindakan CSR, melainkan “sekedar” tindakan untuk memperbaiki/mengganti kerusakan yang ditimbulkannya.

Filosofinya jelas berbeda, karena membersihkan lingkungan merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan yang “dengan sengaja” dirusak perusahaan. Sementara CSR lebih menitikberatkan pada keterlibatan perusahaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitar, meskipun sebenarnya “keterbelakangan” masyarakat sekitar tidak langsung disebabkan oleh keberadaan perusahaan bersangkutan.

CSR, sesuai hakikat terbentuknya, adalah wilayah kegiatan perusahaan privat. Dengan kata lain CSR khusus dijalankan oleh perusahaan swasta atau perusahaan profit oriented. Lembaga pemerintahan tidak memiliki “kewajiban moral” untuk melaksanakan CSR, karena pada dasarnya lembaga pemerintahan adalah lembaga pelayanan kepada masyarakat. Sudah menjadi blueprint dari lembaga pemerintahan (negara) bahwa mereka ada untuk melayani masyarakat.

Sementara pada dasarnya perusahaan swasta dilahirkan untuk mencari keuntungan. Perusahaan swasta tidak mengenal konsep pelayanan publik (pelayanan tanpa mengambil keuntungan), meskipun terdapat beberapa pengecualian. Sifat profit oriented inilah yang dikritisi dari sisi etika bisnis. Perusahaan swasta tidak boleh semata mencari keuntungan belaka, namun harus ikut memberi keuntungan/mengembangkan masyarakat dan lingkungan sekitar. Dari sini kemudian lahir konsep pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya, atau yang dikenal dengan terminologi corporate social responsibility.

Kegiatan berbasis lokasi

CSR adalah suatu kegiatan berbasis lokasi. Maksud dari kegiatan berbasis lokasi adalah, kegiatan serta implikasi dari kegiatan bersangkutan diprioritaskan untuk masyarakat atau lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Tidak ada ukuran spesifik yang dapat dipakai untuk menentukan diameter atau range lokasi penerapan CSR. Patokan sederhana yang boleh dipakai adalah patokan kepantasan yang mendasarkan pada kemampuan perusahaan. Artinya ruang lingkup (wilayah) jangkauan kegiatan CSR didasarkan pada kemampuan finansial/anggaran yang disediakan perusahaan bersangkutan.

Atau biasanya dipakai juga patokan regionalisasi/pembagian wilayah yang telah ada sebelumnya. Misalnya dengan mengikuti pembagian wilayah administratif seperti desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan lain sebagainya. Sementara pemilihan jenis wilayah administratif mana yang akan dipakai, didasarkan pada kemampuan finansial dan teknis perusahaan.

csr-sebagai-komponen-pad-1Penentuan wilayah pelaksanaan juga dapat dilakukan oleh perusahaan bersangkutan. Misalnya suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit membagi wilayah pelaksanaan CSR menjadi distrik-distrik. Pelaksanaan CSR di (katakanlah) distrik pertama, yang mencakup wilayah pemukiman sekitar lahan perkebunan, menjadi tanggung jawab divisi perusahaan A. pelaksanaan CSR di distrik kedua, yang meliputi daerah sekitar pabrik pengolahan, menjadi tanggung jawab divisi B. Demikian seterusnya hingga distrik-distrik lain, yang menjadi wilayah kerja perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut, tercakup pelaksanaan CSR.

CSR sebagai komponen Pendapatan Asli Daerah

Keikutsertaan perusahaan swasta dalam mengembangkan kualitas masyarakat dan lingkungan sekitar menjadi mutlak dari segi moral-etika bisnis. Saat perusahaan swasta menerapkan CSR maka secara konseptual akan ada tabrakan wilayah dengan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Hal ini terjadi karena obyek yang dilayani oleh perusahaan swasta sama dengan obyek yang dilayani pemerintah. CSR ditujukan kepada masyarakat dan lingkungan sekitar, sementara pelayanan pemerintah pun ditujukan untuk masyarakat dan lingkungan setempat. Perbedaannya hanya terletak pada keluasan jangkauan pelayanan. Seperti tampak dalam bagan di bawah ini, jangkauan pelayanan pemerintah lebih luas (bahkan meliputi) luas pelayanan CSR.

csr-sebagai-komponen-pad-2Semakin maraknya pemberitaan mengenai kegiatan CSR menunjukkan adanya perhatian atau bahkan tren di kalangan perusahaan bahwa CSR memiliki posisi cukup strategis dan memang dibutuhkan. Posisi strategis CSR dapat dilihat dari, setidaknya, dua sisi. Pertama, CSR merupakan perwujudan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat tempat perusahaan berada. Kepedulian perusahaan kepada lingkungan sekitar akan meminimalisir penolakan masyarakat setempat. Pada jangka panjang, minimalnya penolakan ini akan membuat minim pula social cost yang harus ditanggung perusahaan.

Kedua, CSR sekaligus merupakan wahana promosi bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan yang banyak melakukan kegiatan sosial, akan dinilai baik oleh konsumen. Penilaian konsumen menciptakan loyalitas konsumen kepada perusahaan, sehingga kelangsungan hisup perusahaan lebih terjamin. Side effect CSR seperti ini mulai disadari oleh banyak perusahaan, sehingga memunculkan tren CSR khususnya di Indonesia.

Dari sisi pembiayaan, kegiatan-kegiatan CSR adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan anggaran tinggi. Sebagai contoh, seperti dikatakan Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak, bahwa pada tahun 2007 Kutai Timur menerima manfaat dari CSR perusahaan-perusahaan tambang senilai Rp. 57 Milyar.[3] Angka ini bukan angka yang kecil karena nilai anggaraan pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kutai Timur berkisar pada Rp. 1 Triliun. Sangat signifikan bahwa manfaat CSR yang diterima Kutai Timur bernilai 5% dari total APBD.[4]

Tingginya dana CSR yang bisa disediakan oleh perusahaan-perusahaan swasta tentunya membuka wacana “pengambilalihan” pengelolaan. Pemerintah selalu mengalami defisit (kekurangan) dana dalam pelayanan publik, sehingga keberadaan dana CSR cukup menarik untuk disikapi.

Apakah ada kemungkinan dana CSR dikumpulkan serta dikelola pemerintah daerah sebagai pendapatan asli daerah[5]?

Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Bab IV tentang Sumber Penerimaan Daerah, Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi, penerimaan daerah terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pendapatan daerah yang dimaksud ayat (1) bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan.

Lebih jauh disebutkan dalam Bab V Pendapatan Asli Daerah, Pasal 6 ayat (1) bahwa PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.

Jika mengacu pada Bab VII tentang Lain-Lain Pendapatan, maka akan diketahui bahwa lain-lain pendapatan yang dimaksud terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 merupakan bantuan yang tidak mengikat; ayat (2) menyatakan hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah; ayat (3) menyatakan bahwa hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah; serta pada ayat (4) dikatakan bahwa hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Menutup penjelasan mengenai lain-lain pendapatan, khususnya mengenai hibah, Pasal 45 mengatur tata cara hibah. Menurut Pasal 45, tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menguatkan pengaturan dalam UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 21 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, salah satu hak daerah adalah mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

Senada dengan pernyataan Pasal 21, Pasal 157 menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) dan lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah antara lain terdiri dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pasal 164 pun mengatur hal yang sama. Dalam ayat (1) dinyatakan lain-lain pendapatan daerah yang sah (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157) merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah.

Sementara mengenai hibah, UU Pemerintahan Daerah mendefinisikan lebih jelas dengan menyebutkan bahwa hibah sebagaimana dimaksud di atas merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri.

Dari peraturan perundang-undangan di atas terlihat tidak adanya aturan spesifik mengenai dana CSR. Tetapi tidak adanya pengaturan tersebut justru membuka peluang bagi daerah untuk mengelola CSR (baik kegiatan maupun dana). Artinya, pemerintahan daerah boleh mengambil sumber pendapatn lain selama sumber pendapatan tersebut tidak didaku sebagai sumber pendapatan pemerintah pusat di dalam undang-undang.

Namun tidak boleh dinisbikan bahwa semua tindakan (di berbagai bidang), dalam kerangka negara hukum, haruslah didasarkan pada peraturan hukum. Positivisasi hukum dalam segala lini kehidupan masyarakat, membuat semua tindakan harus memiliki landasan hukum. Demikian pula ketika pemerintahan daerah bermaksud memasukkan (dana) CSR sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Salah satu alternatif landasan hukum bagi (dana) CSR adalah mengklasifikasikan dana tersebut sebagai hibah.

Hibah, menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

Dengan mengklasifikasikan (dana) CSR sebagai hibah, pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk mengumpulkan dan mengelola dana tersebut. Memang tetap harus dibuat peraturan untuk meneguhkan keberadaan (dana) CSR sebagai hibah. Peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Lalu apa alasan yang rasional untuk menyerahkan pengelolaan (dana) CSR kepada pemerintahan daerah, dan bukan diserahkan kepada pemerintah pusat? Alasan utamanya adalah perusahaan bersangkutan beroperasi di daerah, sehingga semua efek operasional perusahaan ditanggung daerah setempat.

Misalnya mengenai PT A, yang bergerak di bidang pertambangan, beroperasi di Kabupaten B. Operasional tambang PT A mengakibatkan pencemaran sungai di wilayah Kab B, dan bukan di Jakarta atau daerah-daerah lain. Sehingga wajar apa-bila pemerintahan daerah setempat (Kabupaten B) yang mengelola dana CSR PT A. Pemerintah pusat tidak berhak mendaku dana CSR PT A karena pusat (dan daerah-daerah lain yang diwakilinya) tidak ikut menanggung efek negatif operasionalisasi PT A.

Alasan dari perspektif berbeda menyebutkan bahwa pemilik sumber daya alam memiliki hak alamiah (kodrat) untuk menerima pembagian keuntungan atas wilayah mereka. Pemilik sumber daya alam adalah masyarakat setempat (yang diwakili oleh pemerintahan daerah setempat), maka merekalah yang paling berhak menerima manfaat kegiatan CSR perusahaan pengelola sumbaer daya alam.

CSR dan insentif pajak

Dari perspektif perusahaan, penyediaan dana CSR terkait erat dengan kondisi perpajakan. CSR bagi perusahaan adalah pengeluaran, begitu pula dengan pajak yang harus mereka bayarkan. Sederhananya, membayar pajak sekaligus mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR berarti pengeluaran ganda bagi perusahaan. Perhitungan ekonomis akan melihat pengeluaran ini sebagai kerugian perusahaan.

Agar perusahaan tidak enggan/ragu-ragu dalam melaksanakan CSR, maka pemerintah harus mengakomodir kekuatiran perusahaan akan potensi terjadinya pengeluaran ganda. Tindakan yang bisa diambil pemerintah adalah mengkompensasikan pengeluaran CSR dengan pengurangan nilai pajak.

Pertanyaannya, apakah mengurangi besaran pajak perusahaan demi mendorong tumbuhnya CSR bukan merupakan tindakan sia-sia? Mengingat toh, baik pengeluaran dalam bentuk CSR ataupun pengeluaran dalam bentuk pembayaran pajak, bagi perusahaan bersangkutan akan sama saja nilai nominalnya.

Memang benar bahwa dari perspektif perusahaan, pengeluaran CSR tidak lebih menguntungkan daripada pengeluaran pajak. Namun terdapat perbedaan signifikan jika insentif CSR dalam bentuk pengurangan pajak ini dilihat dari kaca mata pemerintahan daerah dan masyarakat setempat.

Perbedaan ini berkenaan dengan perbedaan antara sifat pajak dengan sifat CSR. Mengutip pendapat Roy V. Salomo, tujuan pajak adalah mengalihkan kontrol atas sumber daya ekonomi dari pembayar pajak kepada negara untuk digunakan atau untuk ditransfer kepada pihak lain (meliputi realokasi sumber daya, pengakuan social cost, distribusi penghasilan dan kemakmuran).[7]

Poin penting yang harus digarisbawahi dari tujuan pajak (seperti tersebut di atas) adalah sifat pajak yang memungkinkan (bahkan senantiasa) ditransfer kepada pihak lain. Artinya pajak yang dipungut dari daerah tertentu, kecil sekali peluangnya untuk dibelanjakan/dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengembangan daerah tempat pajak tersebut dipungut. Apalagi jika pajak yang dipungut (dalam hal ini adalah pajak perusahaan) adalah pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Konsep pajak berbeda dengan konsep pendapatan daerah dari dana CSR. Dana CSR, karena dipungut dan dikelola oleh pemerintahan daerah, maka akan dipergunakan maksimal untuk kepentingan daerah setempat. Konsep yang diusulkan mengenai dana CSR, prioritas penggunaan dana ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas masyarakat sekitar lokasi perusahaan.

Dengan demikian, ketika diusulkan bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas CSR akan diberi insentif pemotongan pajak, sebenarnya tidak benar-benar terjadi pengurangan pendapatan negara. Karena, meskipun pemasukan dari pajak berkurang, tetapi terjadi peningkatan belanja publik (public expenditure) dari sektor CSR.

Pengelolaan (dana) CSR

Bagi pemerintahan daerah, mengelola dana CSR pada dasarnya tidak berbeda dengan mengelola dana-dana APBD lainnya. Tetapi dengan melihat hakikat CSR sebagai bentuk keikutsertaan perusahaan komersial dalam meningkatkan kualitas masyarakat, maka sebenarnya terdapat dua bentuk CSR dalam public expenditure, yaitu:

a. Dana CSR dikelola oleh perusahaan bersangkutan, atau

b. Dana CSR diserahkan kepada dan dikelola oleh pemerintah setempat.

Dana CSR yang dikelola oleh perusahaan bersangkutan bisa diklasifikasikan sebagai hibah dalam bentuk barang/jasa. Nilai kegiatan ini dikonversikan ke dalam rupiah, untuk dicatat dalam APBD sebagai pendapatan asli daerah dari sektor CSR.

Jika dana CSR dikelola oleh perusahaan bersangkutan, maka tugas pemerintahan setempat adalah melakukan super visi atas perencanaan serta pelaksanaan program CSR. Pemerintah berhak melakukan kontrol (meliputi intervensi di dalamnya) terhadap pelaksanaan CSR, karena secara yuridis kegiatan CSR tersebut merupakan komponen resmi pendapatan asli daerah. Di sini, baik pemerintah maupun pihak perusahaan swasta memiliki tanggung jawab bersama terhadap terselenggaranya public expenditure.

Dalam hal dana CSR diserahkan serta dikelola oleh pemerintah setempat, pihak swasta tidak bisa ikut dimintai pertanggungjawaban. Perusahaan swasta semata bertindak sebagai penyandang dana, sementara public expenditure dilakukan sepenuhnya oleh pemerintahan setempat.

Berkaitan dengan pemerintahan daerah mana yang akan memeroleh manfaat CSR jika kebetulan wilayah kerja perusahaan swasta bersangkutan meliputi wilayah administratif dari beberapa pemerintahan daerah sekaligus? Misalnya wilayah kerja perusahaan A meliputi wilayah Kabupaten F, G, dan H, maka pemerintah kabupaten manakah yang berhak mengelola dana CSR?

Jika hal tersebut terjadi, maka nilai CSR akan dibagi secara proporsional di antara kabupaten-kabupaten bersangkutan. Dalam hal CSR dilakukan oleh perusahaan bersangkutan, maka nilai kegiatan itulah yang dibagi secara proporsional oleh Kabupaten F, G, dan H. Sedangkan jika CSR diserahkan oleh perusahaan dalam bentuk uang, maka Kabupaten F, G, dan H harus duduk bersama membahas proporsi yang akan diterima masing-masing kabupaten. Ukuran untuk menentukan proporsi pembagian adalah berdasar luas wilayah kabupaten yang menjadi wilayah kerja atau wilayah kegiatan operasional perusahaan bersangkutan.

csr-sebagai-komponen-pad-3Dalam konsep (pembagian kewenangan) pemerintahan daerah yang dianut Indonesia, terdapat asas umum yang menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam akan dipegang oleh pemerintahan yang lebih tinggi dalam hal sumber daya alam tersebut terletak di dua (atau lebih) wilayah pemerintahan daerah. Misalnya sungai L mengalir melalui wilayah Kabupaten J, K, dan M. Koordinasi atas pengelolaan sungai L akan dipegang oleh pemerintah provinsi H sebagai pemerintah yang wilayah administratifnya meliputi Kabupaten J, K, dan M.

Berkait dengan asas di atas, muncul pertanyaan apakah asas tersebut bisa diterapkan dalam pegelolaan dana CSR. Tidak mungkinkan dana CSR dikelola oleh pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi apabila pengelolaan dana CSR melibatkan lebih dari dua pemerintahan daerah? Tidak, pemerintahan yang lebih tinggi tidak memiliki hak untuk turut campur dalam pengelolaan dana CSR tersebut. Karena, sekali lagi, efek kegiatan perusahaan secara riil terjadi di wilayah daerah bersangkutan.

Kesimpulan

Dari makalah tentang kemungkinan penerapan (dana) CSR sebagai komponen pendapatan asli daerah, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1. (Dana atau nilai guna) corporate social responsibility bisa dialihkan dari perusahaan swasta menjadi salah satu komponen pendapatan asli daerah.

2. Pengalihan dana (atau nilai) ini harus diberi payung hukum berupa pengklasifikasian dana CSR ke dalam format hibah, seperti diatur dalam UU. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah.

3. Nilai dari CSR adalah sepenuhnya menjadi hak masyarakat (dan lingkungan) dimana perusahaan beroperasi.

4. Pengelolaan dana CSR bisa dilakukan oleh pemerintah setempat maupun langsung oleh perusahaan yang bersangkutan.

Pustaka

Bert Scholtens, 2006, “Finance as a Driver of Corporate Social Responsibility” dalam Journal of Business Ethics.

Laurence Eberhard-Harribey, 2006, “Corporate Social Responsibility As A New Paradigm In The European Policy: How CSR Comes To Legitimate The European Regulation Process” dalam Corporate Governance Vol. 6 No. 4 2006.

Roy V. Salomo, tanpa tahun, Pajak, Bahan Kuliah Magister Administrasi dan Kebijakan Publik, Departemen Administrasi, Universitas Indonesia.

Sybille Sachs, Marc Maurer, Edwin Ruhli and Reto Hoffmann, 2006, “Corporate social responsibility from a ‘stakeholder view’ perspective: CSR implementation by a Swiss mobile telecommunication provider” dalam Corporate Governance, Vol. 6 No. 4.

————, “CSR Dibuatkan Payung Hukum” dalam Kompas, Jumat, 25 Mei 2007.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/23/daerah/3473191.htm

http://www.proquest.com/pdqweb

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/pertambangan/1id7297.html

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah


[1] Sybille Sachs, Marc Maurer, Edwin Ruhli and Reto Hoffmann, 2006, “Corporate social responsibility from a ‘stakeholder view’ perspective: CSR implementation by a Swiss mobile telecommunication provider” dalam Corporate Governance, Vol. 6 No. 4.

[2] Lebih jauh tentang hubungan antara kondisi keuangan perusahaan dengan CSR dapat dibaca Bert Scholtens, 2006, “Finance as a Driver of Corporate Social Responsibility” dalam Journal of Business Ethics di http://www.proquest.com/pdqweb

[5] Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Peme-rintahan Daerah, pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

[6] Pasal 164 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[7] Roy V. Salomo, tanpa tahun, Pajak, Bahan Kuliah Magister Administrasi dan Kebijakan Publik, Departemen Administrasi, Universitas Indonesia.

Single Post Navigation

19 thoughts on “Menggagas (dana) CSR Sebagai Komponen PAD

  1. salam,

    mau nyadur neh, boleh gak?

  2. mardian on said:

    Monggo monggo (silakan) saja kalo mau disadur… Tapi karena tulisan ini sudah dipublikasikan setidaknya di dua tempat, maka demi kenyamanan sampeyan, sebaiknya dicantumkan asal tulisannya..:D
    Btw,kalo mau bicara tentang CSR, akan lebih baik kalo sampeyan baca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-VI/2008. Bisa dilihat di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

  3. Mas ada ga aturan bau untuk penyusunan pedoman CSR dan SOP nya sekaligus, di dalam web site ISO ada pedoman nya namun hanya berbahasa Inggris. kalau di lapangan kita gak mungkin juga kan menyampaikan dalam bahasa inggris.
    dan selain karena kosa kata yang terbatas bila harus diterjemahkan lagi..
    tolong mas. terima kasih. saya bisa dihubungi di email
    garythene@yahoo.com atau di reynard.3t@gmail.com

  4. Mas Rey, hingga saat ini saya belum menemukan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pedoman tanggung jawab sosial dan lingkungan.
    Standar internasional memang berupa ISO, tetapi agar berlaku mengikat di Indonesia harus diberi dasar hukum. UU Perseroan Terbatas memerintahkan agar disusun PP untuk mengatur penerapan CSR tersebut. PP ini yang setahu saya belum ada.

  5. Rancangan PP tentang CSR sudah disusun Juni 2009 lalu. Kalo mau coba saya kirim via email.

  6. salam kenal..
    saya saat ini sedang mengelola dana program CSR miliki perusahaan swasta di Indonesia. saya lagi butuh beberapa referensi buku tentang managemen dan pengelolaan Program dana CSR…karena saya sendri belum terlalu banyak punya pengalaman di bidang ini. bisa tolong dibantu buku apa yang kira-kira bisa membantu saya??

    seperti mas Rey juga saya juga membutuhkan refersni standar pengelolaan program SCR secara teknis, seperti SOP begitu…kira-kira saya bisa akses lewat mana yah??

    Terima Kasih

  7. Salam Yuli,
    Mengenai buku referensi tentang CSR, saya sendiri belum menemukan yang bagus. Referensi CSR selama ini saya dapatkan dari internet dan diskusi -yang tentunya tidak tertulis-.
    Referensi dari internet, karena kebanyakan merupakan pengalaman dan teori dari negara lain, tentunya perlu dikritisi ulang sebelum bisa dipinjam-terapkan di negara kita.
    Menurut saya pribadi, kita tidak perlu mencari sebuah teori/panduan utuh mengenai CSR karena pada dasarnya “bidang ilmu” CSR adalah “bidang ilmu” terapan yang bersumber dari beberapa bidang ilmu lain, atl sosiologi, komunikasi, manajemen, psikologi, dan “altruisme”:). Jadi, menurut saya, kita susun pedoman sendiri berdasarkan kajian2 ilmu tersebut.
    Pemerintah mmg berusaha menyusun standarisasi, namun seperti yang saya katakan kepada Mas Rey, tampaknya hingga saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah-nya belum disahkan. Meskipun demikian, silakan dicermati RPP-nya; saya kirim via email ya..
    Sekian dulu, kalo Yuli ada informasi baru boleh minta share ya..

    Salam..

  8. gading genitri on said:

    mas punya data atau email perusahaan2 yg ada di bali nda? atu sumber2 csr yg lain?

  9. assalam
    oya tiap perusahan da dana CSR kh???
    apkh bsa skelola masyrakat, contoh sbgai dana pengembangan pendidikan masyrkt setempat???
    mhon informasix
    wasslam

  10. CSR adalah semacam “tren” dalam dunia bisnis. Tren tersebut bermula ketika perusahaan “sadar” bahwa keberadaan mereka membawa akibat bagi lingkungan sekitar, baik akibat baik maupun akibat yang buruk. Nah, perusahaan mengalokasikan CSR untuk ikut serta menanggulangi akibat buruk yang ditimbulkan oleh kegiatan operasional sehari-hari.

    Dari sini dapat saya katakan, bahwa tidak semua perusahaan memiliki alokasi CSR. Ada atau tidaknya CSR dan seberapa besarnya adalah tergantung kesadaran dan kemampuan finansial masing-masing perusahaan.

    Demikian juga apakah alokasinya boleh untuk pendidikan masyarakat. Tentu saja boleh, tetapi hal tersebut harus berdasarkan kesepakatan bersama antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Sekali lagi, karena CSR bersifat sukarela, dan tidak dapat dipaksakan.

    Semoga dapat membantu,
    Salam..

  11. Rederika, S.Pd. on said:

    Pencerahan buat saya yang saat ini sedang prihatin. Sekolah saya adalah sekolah yang dirintis sejak tahun 2005 sebagai kelas jauh dan sudah meluluskan 2 angkatan, di tahun 2011 ini insyaallah angkatan ketiga kami akan keluarkan.
    Harapan dan janji pejabat daerah yang akan menyediakan lahan untuk calon gedung sekolah kami berdiri ternyata tdk terealisasi, kapan entah kapan padahal di kabupaten kami ada 10 smp negeri yang harus numpang di SD selama bertahun-tahun. Keterbatasan pagu sampai kepentingan politik dan membawa-bawa dapil membuat kami dalam ketidakpastian kapan akan terwujud berdirinya sekolah kami.
    Mas Mardian yang saya kagumi, bisakah membantu saya perusahaan apa yang bisa membantu pengadaan lahan dan membangun gedung sekolah melalui dana CSR mereka di kabupaten Bogor. Kepada siapa saya harus menghubungi? Proposal sudah pernah kami buat 2 kali. Terima kasih atas bantuan Mas.

  12. mardian on said:

    Salam..
    Saya ikut prihatin dengan kondisi yang mbak ceritakan. Hanya karena kita (guru dan murid) tidak cukup punya “suara” dalam penentuan kebijakan, maka guru dan siswa, serta kepada dunia pendidikan pada umumnya selalu dipinggirkan.
    Tapi, mohon maaf, saya tidak punya kenalan di perusahaan2 yang CSR-nya concern pada dunia pendidikan, khususnya pembebasan lahan untuk sekolah. Mbak Rederika silakan coba berkirim surat/proposal ke perusahaan Medco (Arifin Panigoro) atau Dulux (produsen cat), mungkin mereka bisa membantu.
    Jika ada teman2 saya yang memiliki info yang mbak butuhkan, insyaAllah saya kabari.
    Salam untuk teman2 yang tidak putus harapan berjuang demi mencerdaskan adik2 kita..

  13. assalamu’alaikum wr.wb

    perkenalkan nama sy Ariyanto Wibow, sy merupakan anggota BKM di desa kami (batukali_jepara). desa kami merupakan desa rawan bencana banjir dan sebagian besar masy merupakan masy ekonomi tidak mampu.
    Apakah mas mardian punya daftar nama perusahaan yg bergerak di bidang penanggulangan bencana (infrastruktur) dan program untuk penataan lingkungan desa agar tidak menjadi desa yg kumuh.
    Mohon kalu ada dikirim ke email batukali.jepara@yahoo.com
    Bantuan CSR sangat diperlukan masy desa kami mengingat terbatasnya anggaran pemerintah khususnya upaya penanggulangan bencana.

    wassalamu’alaikum wr.wb

  14. Salam Mas Mardian.aku mau nanya neh,kan saya baca artikel mas tentang CSR,nah mas membahas CSR yang dilakukan oleh perusahaan Swasta, apakah CSR bisa juga dilakukan oleh BUMN mas, trus mohon dijelaskan mas bila BUMN bisa melakukan CSR apakah penyisihan laba keuntungan tersebut termasuk juga laba yang berasal dari saham pemerintah yang ada di BUMN tersebut mas,Terima kasih mas atas bantuannya

    • Salam Lian, maaf balasnya sangat2 terlambat:)
      Pada dasarnya, secara etik, CSR bisa (bahkan harus) dilakukan oleh semua perusahaan, entah itu modal swasta atau modal yang lain. CSR juga bisa dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum apapun.
      Tetapi selama ini mmg CSR lebih dinilai sebagai kegiatan modal swasta, dan bukan kegiatan modal pemerintah. Mengapa begitu? karena perusahaan modal pemerintah dianggap telah sepenuhnya mengalokasikan keuntungannya untuk rakyat. Pada hakikatnya pemerintah menanam modal untuk meraih keuntungan yang keuntungan tersebut dipergunakan membiayai operasional negara, yang notabene adalah untuk rakyat.
      Apakah saham pemerintah akan ikut terkena kewajiban disishkan untuk CSR? secara ideal sebaiknya begitu, toh laba yang disisihkan utk CSR ataupun jika diserahkan ke kas negara, hasil akhirnya adalah untuk rakyat.
      Namun, sebagai catatan, pelaksanaan CSR belum menemukan pola yang sama karena belum ada pengaturan yang tegas. Jika diatur tegas, krativitas CSR malah akan terhambat, tetapi jika tidak diatur akibatnya perusahaan2 ogah-ogahan melaksanakan CSR.

  15. Ibnu Abdillah on said:

    Salam..

    Melihat tulisan mas Mardian dan pertanyaan dari mbak lian saya sangat tertarik untuk bertanya lebih lanjut soal bagaimana mengelola dana CSR.

    1. Siapakah yang mempunyai wewenang untuk mengelola dana CSR dari BUMN? Apakah divisi tersendiri di perusahaan yg bersangkutan? atau lembaga lain juga bisa mengelola dana CSR perusahaan bersangkutan?
    2. Lembaga apakah yang bisa mengelola dana CSR perusahaan BUMN? apakah LSM, perusahaan lain atau lembaga berbadan hukum lainnya?
    3. Pengalokasian dana CSR itu lebih tepatnya untuk apa saja ? karena yg sy tahu, salah satu perusahaan BUMN ada yg mengalokasikan dana CSR perusahaannya untuk pinjaman usaha dengan bunga yg sangat2 ringan sekali. Ditinjau dari segi manfaat pinjaman modal menurut sy tidak ada manfaatnya untuk lingkungan atau masyarakat sekitar, atau kalau pun ada itu sangat2 kecil pengaruhnya.
    4. Adakah UU yang mengatur tentang CSR selain Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-VI/2008 yang mas Mardian sampaikan pd salah satu comment diatas.

    Mohon informasi dan pencerahan dari mas Mardian. Karena saya dan kawan2 berencana mengelola dana CSR dari perusahaan BUMN yg menawarkan untuk di kelola dana CSR nya oleh saya.

    Terimakasih.
    Wassalam..

  16. Salam, mas Abdillah.
    Secara legal formal, CSR di Indonesia diatur oleh UU 40/2007 (UU Perseroan Terbatas) dan aturan pelaksananya adalah PP 47/2012.
    CSR tidak wajib, kecuali bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (hal ini diatur dalam UU 40/2007 dan PP 47/2012).
    1. UU 40/2007 dan PP 47/2012 tidak mengatur dengan jelas ttg pengelolaan dana CSR. Dengan demikian dana CSR bisa dikelola oleh siapa saja, baik oleh perusahaan sendiri maupun oleh lembaga di luar perusahaan bersangkutan.
    2. bentuk Badan hukum pengelola CSR tidak dibatasi, hingga saat ini hal tersebut diserahkan kepada pemilik dana CSR bersangkutan. LSM maupun badan hukum boleh saja mengelola CSR selama mendapat kepercayaan dari perusahaan pemilik dana dan tentu mendapat kepercayaan masyarakat juga.
    3. Dana CSR boleh dipergunakan dalam bidang apa saja, selama pokoknya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas atau masyarakat sekitar.
    4. Sementara ini pengaturan tentang CSR hanya ada di UU 40/2007 dan di PP 47/2012.

    Semoga info yang terbatas ini dapat bermanfaat.

    • mas saya mau nnyak, apakah bisa dana csr itu dikluarkan untuk kegiatan bulan bakti karang taruna tingkat kelurahan

      • Salam Juny,
        pada dasarnya dana CSR boleh dipergunakan untuk kegiatan apa saja dengan melibatkan lembaga apapun (termasuk Karang Taruna) selama kegiatannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat.
        Menurut saya, yang penting adalah bagaimana Karang Taruna meyakinkan perusahaan tersebut agar diberi kesempatan bekerjasama mengelola dana CSR.
        Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan ke mardian Batalkan balasan