selaksa makna

seperti kata-kata, hidup memiliki ribuan makna di baliknya..

Menangani Gelandangan Ibu Kota

Menangani Gelandangan Ibu Kota

gelandangan (1)

gelandangan (1)

Salah satu sandungan besar dalam pembuatan dan penerapan kebijakan publik adalah menemukan serta memahami stakeholder ’pihak terkait’ dari kebijakan yang dibuat. Kesalahan identifikasi pihak-pihak terkait niscaya membuat sebuah kebijakan publik gagal berlaku, walaupun bisa saja sah berlaku menurut hukum.

Stakeholder, dalam kajian publik, adalah pihak-pihak yang turut memengaruhi atau terpengaruh oleh suatu kebijakan. Semakin komprehensif pihak-pihak terkait diperhitungkan (didengarkan ”suaranya”) dalam pembuatan kebijakan, semakin besar pula kemungkinan keberhasilan penerapan kebijakan tersebut.

Atmosfer publik Jakarta, beberapa minggu terakhir, dihangatkan dengan disetujuinya Rancangan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum. Perda yang merupakan revisi dari Perda No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum ini antara lain berisi larangan penduduk untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, pengelap mobil, maupun menjadi orang yang menyuruh orang lain melakukan aktivitas itu. Untuk mengurangi aktivitas itu, setiap orang juga dilarang untuk memberi uang kepada mereka.

Kerumitan akan sedikit bertambah karena implikasi perda ini meliputi pelarangan terhadap sifat altruisme yang dimiliki masyarakat. Masyarakat tidak lagi diijinkan memberi derma kepada gelandangan dan PMKS. Konsekuensinya tentu jauh lebih rumit, karena menyangkut pengubahan struktur perilaku yang telah mapan dari masyarakat luas.

Larangan Perda juga berlaku bagi joki 3 in 1, pengatur lalu lintas ilegal atau dikenal sebagai ”polisi cepek”, menjadi PSK, penyedia PSK, dan pengguna PSK, serta larangan bagi pengidap penyakit yang meresahkan masyarakat untuk memasuki tempat umum. Pedagang juga dilarang berjualan di trotoar atau kawasan yang tidak diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan.

Kebijakan ini berkaitan erat dengan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dan gelandangan pada khususnya. Gelandangan, yang didefinisikan dengan tiga ciri pokok pola hidup, yaitu hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat; tidak mempunyai pencaharian dan tidak memiliki tempat tinggal tetap; serta mengembara di tempat umum, banyak melakukan aktivitas yang dalam Perda Ketertiban Umum dilarang. Artinya, gelandangan akan menjadi pihak pertama yang paling merasakan dampak kebijakan.

Dapat diamati, kemunculan gelandangan di Jakarta memiliki beberapa sebab. Sebab utama adalah ketertarikan pendatang untuk mencari peruntungan di Jakarta dengan pertimbangan bahwa daerah asal sudah tidak lagi menjamin kehidupan. Namun yang tidak banyak mereka sadari, mengadu nasib ke Jakarta bukanlah hal mudah tanpa persiapan ketrampilan yang memadai. Akibatnya, dengan mudah pendatang-pendatang ini kalah bersaing memperebutkan rejeki Jakarta. Alih-alih pulang, perasaan malu yang berkelindan dengan kegagalan membuat mereka ”terpaksa” bertahan di Jakarta dan menjadi gelandangan.

Selain harus sinergis dengan kebijakan yang dibuat wilayah sekitar, kebijakan pengaturan gelandangan juga harus sinergis dengan kebijakan sektor lain. Jika tidak dilakukan maka kebijakan ini akan berakhir sama dengan kebijakan lain, seperti busway yang ternyata tidak memecahkan kemacetan; larangan merokok yang hanya efektif beberapa hari saja; dan lain sebagainya. Menilik kebijakan terbaru mengenai ketertiban Jakarta yang memberikan ancaman denda antara 100 ribu rupiah hingga 50 juta rupiah, atau kurungan 60 sampai 180 hari kepada pelanggar peraturan daerah, terlihat bahwa pertimbangan-pertimbangan di atas belum diperhitungkan.

Dalam kehidupan keseharian yang telah mapan tercipta pembagian tugas atas fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Struktur pembagian tugas ini sangat kompleks dan saling mendukung satu sama lain. Keberadaan PMKS tidak bisa dilepaskan dari struktur ini, karena merekalah yang bersedia melakukan pekerjaan-pekerjaan informal yang dianggap tidak pantas dikerjakan oleh penduduk ”normal”.

Misalnya, pedagang asongan berperan/berfungsi sebagai mata rantai ujung distribusi barang produksi. Keberadaan mereka memudahkan pengguna jalan (pada umumnya pengguna angkutan umum) untuk membeli sekedar penganan atau minuman dengan cepat. Atau pemulung yang setiap hari melintas di depan rumah kita; mereka adalah bagian dari rantai daur-ulang sampah.

Demikian pula ”polisi cepek” atau ”pak ogah” yang keberadaannya bermula dari ketiadaan/kekosongan keberadaan polisi lalu lintas di jalanan. Terlepas dari perilaku buruknya, mereka membantu kelancaran lalu lintas terutama di ruas-ruas yang mengalami kemacetan.

Secara fungsional pedagang asongan menduduki tempat tertentu dalam distribusi barang. Begitu pula pemulung yang mengambil peran dalam alur daur-ulang sampah kota. Sementara ”polisi cepek” bersimbiosis saling menguntungkan dengan pengguna jalan raya.

Dari perspektif fungsi, skenario kebijakan yang dibuat harus meliputi pemenuhan fungsi-fungsi yang selama ini disandang PMKS. Sebelum ditertibkan, hendaknya telah disiapkan terlebih dahulu pelaku pengganti untuk mengisi kekosongan fungsi-fungsi yang ditinggalkan PMKS.

Contoh sederhana, pelarangan pedagang asongan memunculkan kebutuhan untuk penyediaan pusat kudapan (distributor penganan serta minuman) di setiap terminal dan atau pemberhentian angkutan umum. ”Pembersihan” pemulung harus diimbangi dengan perbaikan kinerja petugas kebersihan kota, serta upaya agar ketiadaan pemulung tidak menurunkan kuantitas sampah kota yang didaur-ulang.

Terhadap pelarangan ”polisi cepek” pun demikian. Pelarangan harus didukung dengan kesediaan polisi lalu lintas atau pihak terkait untuk mengambil alih kembali kewajiban mereka yang selama ini diserahkan kepada ”polisi cepek”. Yaitu kewajiban mengatur kelancaran lalu lintas di semua ruas jalan.

Berikutnya, perhatian harus diberikan kepada wilayah sekitar Jakarta. Wilayah sekitar Jakarta merujuk pada daerah-daerah sekitar yang menjadi kantong penyuplai (supplier) migran/urbanis. Wilayah supplier selayaknya dikelola untuk membantu menghentikan arus urbanisasi (perpindahan penduduk menuju kota).

Hal ini tidak lepas dari pola tempat tinggal nomaden atau mobile dari gelandangan dan PMKS pada umumnya. Gelandangan selalu berpindah tempat tinggal lintas wilayah. Padahal masing-masing wilayah memiliki kebijakan serta kondisi yang berbeda. Hal ini memerlukan antisipasi, yaitu dilakukan sinergi antarpemerintahan wilayah. Sederhananya, peraturan atau kebijakan pengaturan gelandangan harus meliputi atau meng-cover wilayah asal serta wilayah perpindahan/pergerakan gelandangan.

Berkaitan dengan hal di atas, sebaiknya keinginan menghapuskan keberadaan gelandangan (dan PMKS) di Jakarta dilakukan dengan membantu wilayah-wilayah sekitar Jakarta meningkatkan kesejahteraannya. Jakarta ibarat lampu petromaks di malam gelap, mengundang kedatangan laron-laron ”PMKS” di sekelilingnya. Dihambat dengan cara apapun, migrasi PMKS tidak akan bisa dihentikan kecuali dengan menyalakan ”petromaks-petromaks” lain agar laron-laron PMKS tidak merasa perlu bermigrasi menuju Jakarta.

Kalaupun migrasi tidak benar-benar bisa dihentikan, setidaknya tujuan migrasi mereka terpecah tidak lagi hanya menuju Jakarta. Pemecahan arah dan tujuan migrasi akan sangat membantu Jakarta dalam mengurangi jumlah serta dampak yang ditimbulkan gelandangan dan PMKS. Sisi positif lain dari alternatif ini adalah altruisme tidak perlu lagi dituduh sebagai pendukung eksistensi gelandangan dan PMKS di Jakarta.

Sepertinya pembuat kebijakan perlu mulai membangkitkan paradigma berpikir global dan bertindak lokal. Paradigma yang bisa membantu agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya tidak hanya menerpa ruang kosong. (mw)

Single Post Navigation

2 thoughts on “Menangani Gelandangan Ibu Kota

  1. febi megacitra on said:

    Saya juga bingung menangani masalah gelandangan ini, terkait dengan status sosial saya sebagai pekerja sosial profesional & calon pebisnis sukses (CIKODANG). Mungkin alangkah lebih baik diberikan pelatihan secara menyeluruh, agar para gelandangan tersebut mempunyai kekuatan khusus untuk meberdayakan diri mereka sendiri di jalan yang lebih baik dan penuh dengan kebaikan, baik untuk dunia ataupun diakhirat kelak. Saya juga senang dengan ulasan anda, karena itu mohon hubungi no saya untuk diskusi lebih lanjut. Febi Megacitra (085295994005). Semoga dengan ini saya juga bisa menjalin persahabatan. Terima kasih.

  2. Salam kenal,

    Febi, terima kasih untuk atensi dan undangan diskusinya. Mungkin bisa lebih luwes jika diskusi tertulis saja via email. Email saya di mardian_w@yahoo.com.

    mardian

Tinggalkan Balasan ke mardian Batalkan balasan