selaksa makna

seperti kata-kata, hidup memiliki ribuan makna di baliknya..

Archive for the month “Desember, 2009”

Komunikasi dan (De)legitimasi Wakil Rakyat

Komunikasi dan (De)legitimasi Wakil Rakyat

Pemilihan Umum Legislatif telah usai dan menghasilkan susunan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 2009-2014. Sejak proses pencalonan, kampanye, keterpilihan, hingga pertanggungjawaban, anggota DPR -yang menyandang julukan wakil rakyat- terkait dan karenanya terikat erat dengan partai politik. Seperti diatur oleh UUD 1945 pada Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.

Keistimewaan partai politik sebagai satu-satunya pemegang hak untuk menjadi peserta pemilihan umum DPR dan DPRD menjadi sangat krusial karena UUD 1945 pada Pasal 20 ayat (1) memberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang kepada DPR. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, undang-undang memiliki posisi yang sangat penting karena merupakan peraturan perundang-undangan yang secara langsung menafsirkan nilai-nilai dan norma-norma “abstrak “ dari UUD 1945. Undang-undang lah yang membuat sifat plastis dari UUD 1945 dapat dibaca secara lebih tegas dan aplicable.

Karena sifat dan posisi undang-undang yang sedemikian pentingnya, patut untuk mulai direnungkan kembali keberadaan partai politik sebagai satu-satunya entitas yang boleh “mewakili” rakyat untuk mengisi lembaga perwakilan melalui pemilihan umum. Renungan ini terpacu oleh semakin banyaknya penolakan masyarakat kepada anggota dan/atau institusi lembaga perwakilan. Pun, terlihat dengan angka golput yang meskipun tidak terukur namun selalu membayangi.

Komunikasi Partai Politik

Miriam Budiardjo (2001) mengemukakan beberapa fungsi mendasar partai politik, yaitu (i) partai sebagai sarana komunikasi politik; (ii) partai sebagai sarana sosialisasi politik; (iii) partai politik sebagai sarana recruitment politik; dan (iv) partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management). Keseluruhan fungsi tersebut pada dasarnya bisa dikatakan sebagai fungsi komunikasi dalam arti luas. Karena keempat fungsi partai politik di atas membutuhkan kemampuan komunikasi yang lebih dari sekedar memadai. Kemampuan komunikasi yang bukan saja dalam arti teknis, melainkan juga dalam arti yang lebih substantif.

Kembali kepada (wakil) partai-partai politik yang duduk menjadi wakil rakyat di lembaga perwakilan. Jangankan bersesuaian dengan kehendak masyarakat; bersesuaian dengan UUD 1945 pun seringnya tidak, padahal UUD 1945 disusun oleh MPR, sesama lembaga perwakilan yang hanya sedikit lebih kompleks susunannya. Ketidaksesuaian undang-undang dengan kehendak masyarakat terlihat dengan banyaknya undang-undang yang dikesampingkan (desuetudo); atau dapat pula dilihat dari banyaknya undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk di-judicial review.

Dibatalkannya sebagian atau keseluruhan bagian undang-undang melalui judicial review oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa undang-undang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Dimana UUD 1945, sekali lagi, disusun oleh MPR yang mayoritas keanggotaannya terdiri dari anggota DPR.

Hal demikian menunjukkan bahwa masalah komunikasi antara wakil rakyat (yaitu partai politik) dengan rakyat harus segera dibenahi sebelum para wakil rakyat memulai aktivitasnya di Senayan. Lalu bagaimanakah bentuk komunikasi dalam konteks penyusunan undang-undang yang bisa diterima rakyat; atau setidaknya bisa diterima oleh konstituen masing-masing partai politik?

Bagian awal dari jawaban tersebut bisa ditemukan pada wacana demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas. Demokrasi deliberatif, lebih kurang, adalah suatu demokrasi yang didasarkan pada suatu konsultasi, musyawarah, serta konsensus antarpihak yang terlibat. Konsensus inilah yang pada akhirnya secara moral menjamin (dan memaksa) pihak-pihak terlibat untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi konsensus bersama.

Merujuk pada Habermas, konsensus antarpihak akan dicapai jika (i) peserta memiliki peluang sama untuk menyampaikan argumen dan mengkritik argumen peserta lain; (ii) tidak ada perbedaan kekuasaan antarpeserta yang bisa mendistori; (iii) peserta mengungkapkan pemikiran dengan ikhlas sehingga tidak ada manipulasi antarpeserta (K. Bertens, 2002). Kondisi ideal speech tersebut belum terlihat saat anggota dewan bertemu dengan masyarakat dan/atau konstituennya. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian undang-undang telah dibentuk secara sewenang-wenang (arbiter).

Memang, secara teknis, anggota Dewan telah melaksanakan bentuk komunikasi yang melibatkan para pihak dengan kegiatan-kegiatan yang antara lain bertajuk hearing, konsultasi, diskusi publik, dan istilah lain sejenis. Namun kegiatan-kegiatan tersebut tidak cukup memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai deliberatif karena (i) secara kontradiktif, tindakan tatap muka secara terbuka/transparan dengan masyarakat dinegasikan oleh adanya lobi-lobi anggota Dewan secara tertutup; (ii) masyarakat yang diklaim diwakili ternyata tidak secara penuh menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menyuarakan sebenar-benar kepentingannya; dan (iii) masyarakat yang diwakili tidak memiliki kemampuan “menyadari” apa yang sebenarnya mereka butuhkan untuk kemudian mengartikulasikannya.

Legitimasi Penggantian

Anggota Dewan yang dihasilkan dari Pemilihan Umum adalah legitimate, meskipun masih harus dipertanyakan ada atau tidaknya “manipulasi” yang menyertai keterpilihan mereka. Apalagi pemilihan umum juga dilaksanakan dengan berdasar hukum -yang sebenarnya juga membuka pertanyaan mengenai legalitas penyusunannya. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab manakala anggota-anggota Dewan terpilih tidak mampu menjalankan komunikasi secara memadai?

Tuntutan paling keras tentunya ditujukan kepada para anggota Dewan untuk bersedia menengok kembali ruang-ruang moral yang mendasari hakikat keberadaan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat. Tuntutan selanjutnya ditujukan kepada segenap anggota masyarakat yang “sadar politik” untuk menularkan penyadaran politik kepada anggota masyarakat lain. Penyadaran dimaksud adalah penyadaran bahwa anggota Dewan hanyalah sekedar mewakili masyarakat dalam proses legislasi, sementara hak itu sendiri tetap di tangan masyarakat. Sehingga tidak perlu tabu memberhentikan anggota Dewan jika hak masyarakat justru terabaikan.

Namun, agar memenuhi klaim legitimate, pemberhentian anggota Dewan harus dilakukan sebisa mungkin dengan tidak keluar dari jalur perundang-undangan yang dianggap sah. Jika anggota Dewan bersangkutan tidak mau secara sukarela mengundurkan diri, maka tekanan masyarakat harus diarahkan pada partai politik yang menaunginya. Caranya dengan berkomitmen untuk tidak memilih partai politik tersebut pada pemilihan berikutnya. Komitmen menjadi penting karena pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat begitu mudah melupakan kesalahan partai-partai politik. Ancaman-ancaman untuk tidak memilih partai politik tertentu hanya bersifat sementara dan hilang begitu saja terhapus janji-janji manis saat musim kampanye tiba.

Demokrasi kita adalah demokrasi semu, dan akan tetap seperti itu tanpa dilandasi sebuah komunikasi yang berbasis konsensus.

[Mardian Wibowo, alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia]

Ayah Pernah?

Kelak, waktu akan membawa anak-anak kita bertumbuh dan menjadi pintar.

Saat waktu itu tiba, pada suatu keriangan senja, mungkin sambil membawa Bobo, anak kita menghampiri dan memaksa Ayahnya memalingkan mata sejenak dari lembar-lembar koran di tangannya. “Ayah ayah, kolupsi itu apa to? Apa Ayah pelnah kolupsi?,”

Uhh, pertanyaan yang mengagetkan. Apalagi, sentuhan aksentuasi cedalnya memberikan dimensi yang mengiris hati.

Bisa jadi pertanyaan itu muncul dari kemurnian dan kedalaman rasa ingin tahu seorang anak.

Sementara kita masih ngungun, tenggelam dalam kekagetan, entah akan menjawab apa, dia, si kecil yang sangat kita kasihi membuka mulutnya, “Ayah, nespostime itu apa? kolusi itu apa? Ayah pernah ikut?” Mungkin dipikirnya nepotisme itu semacam darmawisata seperti yang sering diadakan taman kanak-kanaknya..

Kekagetan-kekagetan kecil itu berkumpul menjadi gempa lokal yang memukul keras-keras gendang telinga kita. Seketika semua memori muncul kembali, tentang hal-hal yang telah atau tidak kita lakukan.

Mata bening itu memandang, menantikan jawaban.

Kemudian, tiba-tiba adzan Maghrib berkumandang, membuat mata bening itu beranjak berlari menuju Bunda-nya, “Bunda Bunda, mana salung Adek.. Ayah, ayo ke mesjid..”

Fiuhh, adzan Maghrib itu membuyarkan kegagapanku; menyadarkan bahwa aku -seorang Ayah- tidak pernah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan anakku, meskipun ribuan adzan Maghrib telah datang dan memperingatkan..

–sisibaratmonas, 23des09–

Navigasi Pos